Skip to content

BERFATWA PUN HARUS DENGAN ILMU

10 February 2010

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.

Kewajiban berfatwa dengan bersandarkan pada ilmu syari termasuk kaidah yang telah ditetapkan (oleh para ulama). Diharamkan berfatwa tanpa ilmu syari. Dalil-dalil syari mencapai derajat mutawatir dalam menetapkan dan menekankan kaidah ini.

Allah ta’ala berfirman:

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’ : 36)

Dan Dia subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

Artinya: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan berkata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.’. ” (QS Al-A’raf : 33)

Dan Dia jalla sya’nuhu berfirman:

Artinya: “Dan janganlah kalian mengatakan dengan apa yang disebut-sebut oleh lidah-lidah kalian secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesunggunhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” (QS An-Nahl : 116)

Rasulllah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا »

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari dada-dada hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mengambil ilmu dengan mematikan para ulama. Sehingga, apabila Dia tidak menyisakan seorang ulama pun, maka manusia akan memilih pemimpin-pemimpin yang bodoh. Kemudian mereka (pemimpin-pemimpin itu) ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka menjadi sesat dan menyesatkan (orang lain).”[1]

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang (manusia) untuk berfatwa tanpa ilmu. Dia shallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

« مَنْ قَالَ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ بَيْتًا فِى جَهَنَّمَ وَمَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ وَمَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِى غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ »

Artinya: “Barang siapa yang mengatakan (suatu perkataan) yang Aku tidak mengatakannya, maka dia itu telah menyediakan suatu rumah di Jahannam. Barang siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya akan ditanggung oleh orang yang berfatwa. Barang siapa yang menunjukkan kepada saudaranya suatu permasalahan (yang salah), sedangkan dia mengetahui bahwa yang benar ada pada selain itu, maka sesungguhnya dia telah mengkhianatinya.”[2]

Perkataan-perkataan kaum salaf (yang terdahulu) dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhum dan tabiin rahimahumullah telah mencapai derajat mutawatir dalam menetapkan kaidah ini.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata, “Barang siapa yang memiliki ilmu, hendaklah ia katakan. Barang siapa yang tidak memiliki ilmu, maka hendaklah ia berkata, ‘Allahu a’lam (Allah-lah yang lebih tahu)’, Sesungguhnya Allah berkata kepada Nabi-Nya,

Artinya: “Katakanlah (ya Muhammad), ‘Sesungguhnya Aku tidak meminta kepada kalian upah sedikitpun  atas dakwahku. Dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mengada-ada.’” (QS Shad : 86).[3]

Diriwayatkan dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Dan dengan menolaknya ke hatiku.”  tiga kali, mereka berkata, “Apakah hal itu?” Dia menjawab, “Engkau bertanya kepada seseorang tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian dia berkata, ‘Saya tidak tahu.’.”[4]

Diriwayatkan dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata di dalam khutbahnya, “Barang siapa yang memiliki ilmu hendaklah dia mengajarkannya kepada manusia. Dan janganlah dia berbicara tanpa ilmu, sehingga mengeluarkannya dari agama dan menjadi orang yang mengada-ada.”[5]

Para tabiin rahimahumullah juga mengikuti langkah ini. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwasanya di berkata, “Seseorang mati dalam keadaan bodoh lebih baik baginya daripada berbicara tanpa ilmu.”[6]

Diriwayatkan dari Ibnu Wahb bahwasanya dia berkata, “Saya mendengar Malik berkata dan menyebutkan perkataan Al-Qasim, ‘Seseorang hidup dalam keadaan bodoh lebih baik baginya daripada berbicara atas nama Allah apa yang tidak diketahuinya.’ Kemudian Malik berkata, ‘Perkataan ini sungguh berat,’ Kemudian dia menyebutkan (kisah) Abu Bakar Ash-Shiddiq dan menceritakan kekhususan yang diberikan oleh Allah padanya berupa keutamaan dan memberikan keutamaan itu padanya. Kemudian Malik berkata, ‘Pada waktu itu Abu Bakar berkata bahwa dia tidak tahu, dan tidak mengatakan, ‘Pada permasalahan ini saya tidak tahu.’ Kemudian dia berkata (Ibnu Wahb), “Saya juga mendengar Malik rahimahullah berkata, “Yang menunjukkan seorang ulama paham (dengan agama) adalah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ Mudah-mudahan dengan demikian akan disediakan untuknya suatu kebaikan.”[7]

Muhammad bin Abi Harb berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah ditanya tentang seorang laki-laki yang berfatwa tanpa ilmu, maka dia berkata, ‘Diriwayatkan dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, ‘Dia keluar dari agamanya (Islam),’.”[8]

Diriwayatkan dari Malik bahwasanya dia berkata, “Seorang laki-laki memberitahuku bahwa dia masuk (ke dalam ruangan) Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Lelaki tersebut mendapatkannya sedang menangis. Kemudian lelaki tersebut bertanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu menangis?’ Terlihat pada tangisnya ada rasa takut. Kemudian Lelaki tersebut bertanya, ‘Apakah engkau ditimpa musibah?’ Rabi’ah pun menjawab, ‘Tidak, Saya bertanya kepada seseorang yang tidak punya ilmu, kemudian terjadi sesuatu yang sangat besar dalam Islam.’ Kemudian Rabi’ah melanjutkan, ‘Beberapa mufti di sini (sebenarnya) lebih berhak untuk masuk penjara daripada para pencuri.’.”[9]

Ahmad bin Hamdan An-Namri Al-Harrani berkata, “Bagaimana kalau Rabi’ah melihat zaman kita ini dan melihat (banyaknya) orang yang tidak punya ilmu tampil untuk berfatwa. Padahal, mereka sangat sedikit pengalamannya,  jelek sejarah hidupnya dan sangat buruk apa yang dirahasiakannya. Mereka hanya bermaksud sum’ah dan riya serta menyerupai orang-orang yang memiliki keutamaan dan kepandaian, orang-orang terkenal yang terjaga (kehormatannya) dan ulama-ulama yang menguasai dan mendalami (ilmu) lagi yang terdahulu.

Selain itu, mereka juga melarang (orang lain) tetapi mereka tetap mengerjakannya. Mereka juga memperingatkan (orang lain) tetapi mereka tetap melanggarnya. Mereka telah dipengaruhi oleh orang-orang bodoh dan meninggalkan apa yang seharusnya mereka lakukan.

Barang siapa yang tampil untuk berfatwa, menjadi hakim (dalam pengadilan) atau mengajar sedangkan dia bukanlah ahlinya, maka dia berdosa. Jika dia memperbanyaknya dan terus melanjutkan hal tersebut, maka dia menjadi fasik. Dan tidak dihalalkan untuk menerima perkataan, fatwa dan keputusannya (di pengadilan). Inilah hukum Islam. Siapa saja yang menyelisihi kebenaran ini, maka perkataannya tidak akan dianggap. Fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali).” [10]

Oleh karena itu, ketika penuntut ilmu berjalan tanpa memperhatikan kaidah ini dengan baik, maka ia akan terpeleset/jatuh kepada kesalahan dan menyelisihi kebenaran. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(إنَّ أَشَدَّ ما أَتَخَوَّفُ عَلى أُمَّتي ثَلَاثا:  زلَّةُ عالِمٍ و جِدالُ مُنافِقٍ بِالقرآن و دنيا تقطع أعناقكم فَاتَّهِمُوها على أنْفُسِكم)

Artinya: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan pada umatku ada tiga hal: Keterpelesetan ulama, debatnya orang munafik yang menggunakan Al-Qur’an dan dunia yang mengakibatkan leher-leher kalian terpenggal. Oleh karena itu, curigailah hal-hal tersebut pada diri-diri kalian!”[11]

Ada kabar yang benar datangnya dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Apakah kamu tahu apa yang (dapat) menghancurkan Islam?” Kemudian dia berkata, “Yang (dapat) menghancurkan Islam adalah keterpelesetan ulama, debatnya orang munafik dengan menggunakan Al-Qur’an dan hukumnya imam-imam (pemimpin-pemimpin) yang menyesatkan.”[12]

Sebab keterpelesetan yang paling kuat adalah fatwa yang berasal dari kebodohan terhadap suatu hukum atau kebodohan dalam memahami peristiwa yang diinginkan untuk diterapkan hukum syariat padanya. Oleh karena itu, kita ketahui bahwa yang termasuk sebab terjadinya penyelewangan di dalam umat adalah maju untuk berfatwa tanpa ilmu yang menyeluruh terhadap permasalahan yang ditanyakan dan tidak mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di satu sisi, serta tidak mengetahui ilmu yang benar terhadap hukum syari di sisi lain.

Ilmu yang dimaksud pada kaidah ini ada dua macam:

Yang pertama adalah ilmu syari yang dibangun atas Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah yang shahihah (benar) sesuai pemahaman yang selamat yang berdasarkan cara berdalil (ber-istidlal) dan macam-macam bentuknya yang telah disebutkan oleh para ulama ushulul-fiqh dan berdasarkan pemahaman salafush-shalih (kaum yang terdahulu yang soleh).

Yang kedua adalah gambaran yang benar atas permasalahan yang terjadi dan hal yang ditanyakan. Gambaran yang melingkupi semua sisi-sisinya dan menyingkap hal-hal yang mengelabuinya serta paham benar dengan zahir dan batinnya. Oleh karena itu, Para ulama berkata, “Menghukumi suatu hal merupakan bagian dari (bagaimana memahami) gambarannya (Al-hukmu ‘ala syai’in far’un ‘an tashawwurihi).”[13]

Ibnul-Qayyim berkata, “Seorang mufti dan hakim tidak akan bisa berfatwa dengan benar kecuali memiliki dua jenis pemahaman. Salah satunya adalah pemahaman tentang peristiwa yang terjadi (waqi’) dan fikih pada hal tersebut, dan pemahaman tentang hakikat (peristiwa) yang terjadi dengan qara’in (dalil-dalil), ciri-ciri dan tanda-tandanya sampai memiliki ilmu (yang pasti tentangnya).

(Jenis pemahaman) yang kedua adalah pemahaman tentang sesuatu yang wajib (diketahui) dalam memahami waqi’, yaitu pemahaman tentang hukum Allah yang mana Allah berhukum dengannya di dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an) atau dengan lisan Rasul-Nya pada permasalahan tersebut.

Kemudian, (mufti atau hakim tersebut) mencocokkan/menerapkan satu dengan yang lainnya. Barang siapa yang telah berusaha keras dan menyibukkan diri untuk itu, maka dia tidak akan kehilangan dua atau satu pahala. Seorang ulama adalah siapa saja yang sampai kepada (derajat) mengenal hukum Allah dan Rasul-Nya dengan cara mengenal dan memahami waqi’…Barang siapa yang memperhatikan syariat dan permasalahan-permasalahan (yang dihadapi oleh) para sahabat, maka ia akan merasa senang dengan cara ini. Barang siapa yang menempuh selain cara ini maka dia akan menghilangkan hak-hak manusia dan menyimpang dari syariat yang untuknya Allah mengutus Rasul-nya.”[14]

Yang merupakan jaminan terkuat yang menunjukkan benarnya fatwa dan juga kesesuaiannya dengan syariat islamiah adalah dua hal yang telah disebutkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah. Karena dengan dua hal tersebut, seorang ulama dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil, yang (sesuai dengan) petunjuk dan yang sesat. Tidak ada yang (bisa) menjadi seperti itu kecuali orang yang baik niatnya, yang mencari kebenaran dan yang bertakwa kepada Allah di saat sendiri maupun bersama orang lain. Begitu pula, di dalam mengetahui dan memahami waqi’ (peristiwa yang terjadi), dia tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan soal yang ditanyakan oleh penanya. Oleh karena itu, jika Ayyub As-Sakhtiyani ditanya oleh seseorang maka ia berkata, “Coba ulangi lagi!” Jika penanya mengulangi soalnya seperti yang pertama maka dia pun akan menjawabnya. Apabila ternyata berbeda (dengan yang pertama) maka dia tidak akan menjawabnya.[15] Seolah-olah lisan hal-nya berkata, “Jika kamu tidak mampu menghapal soal, bagaimana mungkin kamu mampu menghapal jawabannya.” Oleh karena itu, sudah sepantasnya memahami kaidah ini (dengan baik). Terlebih lagi pada permasalahan-permasalahan yang sifatnya bercabang-cabang.

(Terjemahan Said Yai dari kitab Al-Ushuul Al-‘Aammah wa Al-Qawaa’id Al-Jaami’ah lil-Fataawa Asy-Syar’iyah’, Penyusun: DR. HUSAIN BIN ABDIL-‘AZIZ ALU SYAIKH. Kutipan dari buku ‘AWAS FATWA-FATWA SESAT’, Penerbit Darussunnah. Mudahan bermanfaat.)


[1] Di-takhrij oleh Al-Bukhari dari hadis Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash di dalam kitab al-‘ilmi, bab kaifa yaqbidhu al-‘ilm no. 100 (1/53). Dan di kitab al-I’tisham bilkitab was-sunnah, bab ma yudzkar min dzammir-ra’yi wa takallufil-qiyas no. 7307 (4/365). Dan Muslim di dalam kitab al’ilm, bab raf’ul-‘ilmi wa qabdhuhu dan dzhuhurul-jahl wal-fitan fi akhiriz-zaman no. 2673 (4/2058).

[2] Di-takhrij oleh Ahmad dari hadis Abu Hurairah rhadiallahu ‘anhu (2/321, 365), Ishaq di dalam musnadnya no. 334 (1/341), Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 259 (1/100), Hakim no. 349-350 (1/183-184), Al-Baihaqi di As-Sunan Al-Kubra no. 20140 (10/116) dan no. 20111 (10/112), di Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra no. 789 hal. 429, dan di-takhrij oleh Abu Dawud dengan lafaz: “Barang siapa diberi fatwa tanpa ilmu, maka dosanya adalah bagi yang menfatwakannya. Barang siapa yang menunjukkan kepada saudaranya pada sesuatu (yang sebenarnya) dia tahu bahwa petunjuk (kebenaran) ada pada selain itu, maka dia telah benar-benar mengkhianatinya.” Di dalam kitab Al-‘ilmu, bab At-Tawaqqi fil-futya no. 3657 (3/321), Ibnu Majah di dalam Al-Muqaddimah, bab Ijtinabur-ra’yi wal-qiyas no. 53 (1/21-22), Ad-Darimi no. 159 (1/69). Dihasankan oleh Al-Albani di Shahih Sunan Abi Dawud no. 3657 (3/321) dan di Shahih Al-Jami’ no. 6068.

[3] Di-Takhrij oleh Al-Bukhari no. 4822 (3/290) dan no. 4824 (3/290) dan bab Surat Ar-Rum no. 4774 (4/274), Dan Muslim di kitab Shifatul-Qiyamah wal-Jannah wan-Nar bab Ad-dukhan no. 2798 (4/2155).

[4] Di-takhrij oleh Ad-Darimi no. 175, 176 dan 178 (1/74), Al-Baihaqi di Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra no. 794 hal. 430, Ibnu Abdil-Barr di Jami’ul-Ilmi wa Fadhlihi no. 1569 (2/836), Al-Khathib Al-Baghdadi di Al-Fiqh wal-Mutafaqqih (2/171), Ibnu ‘Asakir fi Tarikh Madinati Dimasyq (42/510), dan disebutkan oleh Ibnu Muflih di Al-Adab Asy-Syar’iah (2/65), Al-Munawi di Faidhul-qadir (1/98, 4/387), Abul-Mahasin Al-Hanafi di Mu’tashar Al-Mukhtashar hal. 353 dan Al-Qurthubi di tafsirnya (1/285).

[5] Di-takhrij oleh Ad-Darimi no 174 (1/74), Abu Ya’la di Thabaqat Al-Hanabilah (1/331), dan disebutkan oleh Ibnu Muflih di Al-Adab Asy-Syar’iah (2/63), dan di Al-Furu’ (6/380).

[6] Di-takhrij olehAl-Baihaqi di Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra no. 804 hal. 434 dan disebutkan oleh Ibnu Muflih di Al-Adab Asy-Syar’iah (2/65) dan Ibnul-Qayyim di I’lamul-Muwaqqi’in (2/185).

[7] Di-takhrij olehAl-Baihaqi di Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra no. 808 hal. 435, Ibnu Abdil-Barr di Jami’ul-Ilmi wa Fidhlihi no. 1573 (2/839) dan disebutkan oleh Ibnu Muflih di Al-Adan Asy-Syar’iah (2/65) dan Ibnul-Qayyim di I’lamul-Muwaqqi’in (2/186).

[8] Di-takhrij oleh Ad-Darimi no. 174 (1/74), Abu Ya’la di Thabaqat Al-Hanabilah (1/331), dan disebutkan oleh Ibnu Muflih di Al-Adab Asy-Syar’iah (2/63) dan di Al-Furu’ (6/380) dan di Al-Maqshd Al-Arsyad (2/528).

[9] Lihat Al-Muwafaqat milik Asy-Syathibi (4/174-175), dan Il-I’thisham (2/173), Shifatul-fatwa milik Ahmad bin Hamdan An-Namri Al-Harrani hal. 11, Adabul-Mufti wal-Mustafti milik Asy-Syuhrazuwi hal. 85 dan Fatawa Ibnish-Shalah hal. 20, I’lamul-Muwaqqi’in milik Ibnul-Qayyim (4/207), Al-Kawakib An-Nairat milik Muhammad bin Abul-Barakat Adz-Dzahabi Asy-Syafi’I yang meninggal pada tahun 929 H. hal 21.

[10] Lihat Shifatul-fatwa milik Ahmad bin Hamdan An-Namri Al-Harrani yang meninggal pada tahun 695 H hal. 11-12, Adabul-Mufti wal-Mustafti milik Asy-Syuhrazuwi hal. 75, Fatawa Ibnish-Shalah hal. 20, dan I’lamul-Muwaqqi’in milik Ibnul-Qayyim (4/207).

[11] Di-takhrij oleh Ad-Darimi dari hadis Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu no. 649 (1/166-167), Ath-Thabrani di Al-Awsath no. 6575 (6/342) dan no. 8715 (8/307), dan diAsh-Shaghir no. 1001 (2/186) dan di Al-Kabir no. 282 (20/138), Tamam Ar-Razi di Fawaid-nya no. 1576 (2/219), Ahmad di Az-Zuhd dari hadis Abu Darda’ hal 143, Ahmad bin Bisyr di Az-Zuhd wa Shifatuz-Zahidin no. 78 hal. 49, dan Al-Baihaqi di Syu’abil-Iman dari hadis Ibnu ‘Umar hal. 10311 (7/281).

[12] Di-takhrij oleh Ad-Darimi no. 214 (1/82), Al-Bazzar no. 2671 (7/115), Abu Nu’aim di Al-Hilyah (1/219), (4/196), padanya juga dari hadis Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu, Al-Haitsami menyebutkannya di Majma’ Az-Zawaid (1/186), (2/313) dan Ath-Thabrani di Musnad Asy-Syamiyin dari hadis Abu Darda’ no. 2220 (3/264), dan Al-Haitsami menyebutkan di Az-Zawaid dari hadis keduanya (1/186), dan no. 196 (1/122), Al-Lalaka’I di I’tiqad Ahlissunnah no. 183 (1/116) dan no. 198 (1/122), Al-Firyabi di Shifatul-Munafiq no. 31 hal. 53, Al-Khatib Al-Baghdadi di Tarikh Baghdad (2/129), Ibnu ‘Asakir di Tarikh Madinah Dimasyq (58/438), Al-Baihaqi di Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra no. 832 hal. 443. Dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dari hadis Umar radhiallahu ‘anhu di Misykatul-Mashabih no. 269.

[13] Lihat Al-Fawaqih Ad-Diwani Syarh Risalah Abi Zaid Al-Qairawani milik An-Nafrawi (1/112), Mughni Al-Muhtaj milik Asy-Syarbini (2/363), hawasyi Asy-Syarwani (1/287), (6/206), dan Hasyiah Al-Baijarmi (1/9, 374), (3/232), (4/57).

[14] Lihat I’lamuul-Muwaqqi’in (1/87-88).

[15] Di-takhrij oleh Al-Baihaqi di Al-Madkhal ila As-sunan Al-Kubra no. 827 hal. 440 dan Al-Fasawi di Al-Ma’rfah wa At-Tarikh (2/137), dan disebutkan oleh Ibnul-Qayyim di I’lamul-Muwaqqi’in di (2/187).

Download BERFATWA PUN HARUS DENGAN ILMU

Leave a comment